Wednesday, October 15, 2014

Berkat rahmat Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk dimodikfikasi didalam tatanan nilai baku yang kemudian menjadi dicitra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NPD PMII). Hal ini dibutuhkan untuk memberi kerangka, arti, motivasi, wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
Insaf dan sadar bahwa semua ini adalah keharusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara personal maupun bersama-sama.

I.          ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN

1.         Arti
Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai keislaman dan keindonesiaan dengan kerangka pemahaman Ahlussunah Waljama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah, mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan yang meliputi cakupan akidah, syari'’h, dan akhlak dalam upaya memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan diakhirat. Dalam usaha memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunah wal jama’ah sebagai manhaj alfkr untuk mendekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman agama.
2.         Fungsi
a.   Landasan Pijak
Bahwa NDP menjadi landasan pijak setiap gerak langkah dan kebijaksanaan yang harus dilakukan
b.   Landasan Berpikir
Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan – persoalan yang dihadapi
c.   Sumber Motivasi
Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung didalamnya.
3.         Kedudukan
a.   Rumusan nilai – nilai yag seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan  dan kegiatan PMII
b.   Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap dan berprilaku

II.         RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN

1.         Tauhid
Meng-Esa-kan Allah SWT dari segi sifat, dzat, dan perbuatannya merupakan nilai paling asasi dalam diri agama yang dibawa oleh para Rasul Allah. Keyakinan demikian mengandung makna, bahwa tidak ada kekuatan lain yang Maha Tinggi dan Maha Mutlak selain Allah SWT. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah dan memelihara alam semesta. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan mendorong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha menolong, Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Tunggal, Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujian dan penghambaan.
Dialah Allah tiada Tuhan selain Dia yang mengetahui barang yang ghaib dan yang nyata. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hasr: 22).
Tauhid juga mengandung makna, bahwa manusia hidup di dunia ini adalah satu atau tunggal, karena proses kejadiannya diciptakan dari Dzat yang satu, yaitu Allah SWT. di samping itu manusia juga diciptakan dari “asal” yang satu, yaitu tanah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (berasal) dari tanah”. (QS. Al-Mukminun: 12).
 “…..Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari Api, sedangkan dia Engkau ciptakan dia dari tanah”. QS. Shaad: 38).
Pemikiran demikian harus membawa pada pemahaman, bahwa di dunia ini hakekatnya adalah sama, perbedaan itu hanya terletak pada simbolik-formal semata. Tidak ada yang lebih tinggi dan mulya derajatnya antara satu dengan yang lain. Karena sesungguhnya ukuran ketinggian dan kemulyaan manusia derajat bergantung pada kualitas hidup di dunia ini.
Pemahaman kepada Tauhid yang demikian membawa pada; Pertama, keyakinan seperti itu merupakan keyakinan yang berdimensi transendental dan humanis yang mengarahkan pada proses kesadaran hidup yang berkemanusian. Kedua, Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka, konsekwensinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus mampu melarutkan dan meneteskan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta tersosialisasikan merambah sekelilingya. Ketiga, Dalam memahami dan mewujudkannya, pergerakan telah memiliki ahlussunah waljama’ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.

2.         Hubungan Manusia dengan Allah
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia sebaik-baik kejadian dan menganugrahkan kedudukan terhormat kepada manusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain.
“Sesungguhnya telah Aku Ciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik”. (QS. Al-Thiin: 4).
"Dan sesengguhnya telah aku muliakan anak adam; aku tanggung mereka dalam darat dan laut; aku anugrahi mereka rizki yang bagus-bagus; dan aku telah mengutamakan mereka melebihi ciptaan-ciptaan-ku dengan sebenar-benarnya kemuliaan" (QS. Al-Isra’: 70).
Dalam proses penciptaan tersebut terdapat dua hal yang harus diemban oleh manusia di dunia ini.
Pertama, manusia sebagai hamba Allah yang harus tunduk atas segala bentuk ketentuan Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Sebagai “hamba” manusia tidak punya hak untuk mempertanyakan apalagi mengingkari titah Tuhan tersebut. Bagi manusia hanya punya kewajiban untuk menjalankannya. Dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia menempati posisi sebagai ciptaan, dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh dengan segala totalitas kepada Allah SWT. Pengingkaran manusia dalam penghambaan diri kepada Allah akan mengakibatkan penghambaan diri pada hawa nafsunya.
“Dan tiadalah Aku ciptakan manusia dan Jin kecuali hanya untuk tunduk dan patuh”. (QS. Al-Dzariyat: 56).]
Kedua, manusia sebagai khalifah yang mengemban mandat yang diberikan Allah SWT kepadanya untuk mewujudkan kemakmuran hidup di muka bumi, bukan untuk menghancurkannya. 
Dan ketika Tuhan berkata kepada para malaikat : sesungguhnya Aku jadikan di muka bumi ini seorang kahlifah. Maka para malaikat bertanya : apakah Engkau menciptakan manusia itu justru akan terjadi keruskan dan pertumpahan darah ?, sedangkan kami selalu bertasbih kepada-Mu dan memuji-Mu, mensucikan-Mu. Allah berkata : sesungguhnya aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia iu bersifat kreatif yang memungkinkan dia mengola serta mendayagunakan segala sesuatu di bumi untuk kepentingan manusia. Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan mengajarkan kepada manusia kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa baru dalam alam kebudayaan. Sebagai khalifah manusia diberi wewenng berupa kebebasan atau kemerdekaan memilih dan menentukan, sehingga dengan kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan atau kemerdekaan manusia disebabkan karena kedudukannya untuk memimpin, sehingga pemimpin tidak tunduk kepada siapapun disekelilingnya, kecuali kepada yang memberi kepemimpinan. Karena itu, kebebasan atau kemerdekaan manusia sebagai khalifah harus bertumpu pada landasan tauhid, sehingga kebebasan yang dimilikinya tidak menjadikannya bertindak sewenang-wenang. Dengan kata lain, kebebasan manusia adaah kebebasan yang bertanggung jawab.
 “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya. Dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. (QS. Fathir: 39).
Kedua kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. Di samping itu kedua kedudukan harus dijalani secara seimbang, lurus, dan teguh dengan tidak hanya menjalani yang satu dengan mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan mengejawantahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas. Artinya pola dijalani dengan mengharapkan keridloan dari Allah. Sehingga pusat perhatian dengan menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan kepada proses menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti dan niat ikhtiar, akn muncul manusia-manusia yang mempunyai kesadaran tinggi, kreatif, dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah. Sekaligus didukung dengan ketaqwaan dan tidak pernah pongah kepada Allah.
Dengan karunia Akal, manusia berpikir, merenungkan tentang ke-Mahakuasaan-Nya, yakni kemahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinya untuk menirukan fungsi ke-Maha-an-Nya itu. Sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah, yakni fitrah suci yang selalu memproyeksikan tentang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepada-Nya, berarti manusia tengah menjalani fungsi al-Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka berarti ia telah memerankan fungsi ar-Rahman dan ar-Rahim. Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi al-Ghoniyyu. Demikian pula, dengan peran ke-Maha-an Allah yang lain, as-Salam, al-Mu’min, dan sebagainya.
Di dalam melakukan pekerjaannya manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai dengan apa yang diupayakan. Karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal kemerdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks ditengah-tengah kehidupan alam dan kerumunan masyarakat. Sekalipun didalam diri manusia dikaruniai “kemerdekaan” sebagai essensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab perputaran itu semata-mata tetap dikendalikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Semua alam semesta selalu tunduk pada sunnah-Nya, pada keharusan universal atau taqdir. Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha (ikhtiar) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi muslim atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin. Manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil jerih payah dan karyanya. Keterbatasan-keterbatasan manusia harus untuk disadari. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, qona’ah (menerima) karena  disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepada-Nya.

3.         Hubungan Manusia dengan Manusia
Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruh-Nya kepada materi dasar manusia, menunjukkan bahwa manusia berkedudukan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah. Kesadaran moral dan keberaniannya untuk memikul tanggung jawab dan amanat dari Allah yang disertai dengan mawas diri menunjukkan posisi dan kedudukannya. Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sebagai warga dunia, manusia harus berjuang dan menunjukkan peran yang dicita-citakan.
Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya, kecuali ketaqwaanya.
Wahai manusia, sesungguhnya telah Aku ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan, dan telah Aku jadikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku hanyalah untuk saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang berqtawa. (QS.  Al-Hujurat: 13)
Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya, tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya. Karena kesadaran ini, manusia harus saling menolong, saling menghormati, bekerja sama, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.
Manusia telah dan harus selalu mengembangkan potensinya untuk menanggap terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian, maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian dirubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedangkan budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan adanya upaya bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru manusia menyadari asal mulanya kejadian dan makna kehadirannya didunia.
Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam berhubungan dengan Allah. Manusia dan alam selaras dengan perkembangan kehidupan dan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus menegakkan iman, taqwa, dan amal sholeh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat didunia. Didalam kehidupan dunia itu, sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing, bersederajat, berlaku adil, dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk itu diperlukan usaha bersama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi, dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus menerus dilakukan sepanjang sejarah.
Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerjasama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama yakni hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan hubungan antara muslim dan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran islam sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina hubungan dan kerjasama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama ummat manusia. (QS. Al-Baqarah: 213) kana al-nasu ummatan wahidan, fa ba’atsa allahu al-nabiyyina mubasysyirina wa mundzirina, wa anzala ma’ahum al-kitaba bi al-haqqi li yahkuma bayna al-nasi fi ma ikhtalafu fihi, wa ma ikhtalafa fihi illa al-ladzina utuhu min ba’di ma ja’at hum al-bayyinatu baghyan baynahum, fa hada allahu al-ladzina amanu lima ikhtalafu fihi min al-haqqi bi idznih, wa allahu yahdi man yasaya’u ila shirotin mustaqimin.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan antar insan pergerakan, persaudaraan sesama islam, persaudaraan sesama warga negara dan persaudaraan sesama ummat manusia. Perilaku persaudaraan ini, harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan sekitarnya.
   
4.         Hubungan Manusia dengan Alam
Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat, dan perbuatan Allah. Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam. Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia, dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam  pengahambaan terhadap alam, bukan penghambaan terhadap Allah. Allah mendudukan manusia sebagai khalifah. Sudah sepantasnya  manusia menjadikan bumi sebagai wahana dan obyek bertauhid dan menegaskan keberadaan dirinya.
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan didunia dan diarahkan kepada kebaikan di akherat. Disini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransedentasikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akherat adalah masa depan eskatologis yang tidak terelakan. Kehidupan akherat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar  fungsional dan beramal sholeh.
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam,mamakmurkan bumi, dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya  juga harus berkesesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan dengan mencukupi kebutuhkan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin  kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran  bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa. Tapi tidak jarang manusia dalam memanfaatkan alam itu secara berlebih-lebihan, sehingga yang terjadi adalah kerusakan dengan memakan korban kemanusiaan dan alam itu sendiri.
 “Telah nyata kerusakan di darat dan laut  ini, karena disebabkan oleh ulah tangan manusia. Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus”. (QS. Al-Rum: 41).
 “…..dan berbuat baiklah baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. (QS. Al-Qasas: 77).
Salah satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia. Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan dan hukum tersendiri. Alam perlu didayagunakan  dengan tidak mengesampikan aspek pelestariannya.
Sumber pengetahuan adalah Allah. Penguasaan dan pengembangannya disandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaan-Nya. Untuk mengetahui dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif  berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihat yang utuh terhadap ayat-ayat Allah. Pengembangan pemahaman tersebut pada akhirnya tersistematis dalam ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi. Iptek itu merupakan perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Iptek juga menunjuk pada kebaharuan manusia yang terus  berubah. Penciptaan,  pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika manusia mengingkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama, usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kedamaian.
Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia dapar menempatkan diri pada derajat yang tinggi.

ANALISA DIRI

Setiap manusia pada hakikatnya adalah pribadi yang unik dan memiliki potensi diri yang berbeda-beda. Dan hidup akan menjadi meaning full ketika dengan segala potensi yang ada dapat diejawantahkan dalam realitas kediriannya dan eksistensinya sebagai manusia. Bila Freud manyatakan bahwa kehidupan hanyalah pertarungan antara kesadaran dan ketidaksadaran makna yang patut dipertanyakan adalah dimanakah kita saat ini? Salah satu krisis terparah serta mengkhawatirkan saat ini adalah krisis konsep kedirian. Dan barang kali yang patut kita renuingkan pernyataan seorang Isa bahwa diri yang tercurahkan adalah diri yang dalam percepatan waktu tyerkecil selalu sadar akan diri dan sekitarnya. Hal yang penting kemudian adalah hidup manusiasesungguhnya bukan sekedarnya saja tetapi perlu kita yakini bahwa hidup sebagai sesuatu yang meaning full.