Berkat rahmat Allah SWT,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berusaha menggali sumber nilai dan
potensi insan warga pergerakan untuk dimodikfikasi didalam tatanan nilai baku
yang kemudian menjadi dicitra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NPD
PMII). Hal ini dibutuhkan untuk memberi kerangka, arti, motivasi, wawasan
pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan
dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud
didirikannya organisasi ini.
Insaf dan sadar bahwa
semua ini adalah keharusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk
memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara personal
maupun bersama-sama.
I. ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN
1.
Arti
Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini
adalah suatu sublimasi nilai keislaman dan keindonesiaan dengan kerangka
pemahaman Ahlussunah Waljama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah,
mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan
pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan yang
meliputi cakupan akidah, syari'’h, dan akhlak dalam upaya memperoleh
kesejahteraan hidup didunia dan diakhirat. Dalam usaha memahami, menghayati dan
mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunah wal jama’ah sebagai
manhaj alfkr untuk mendekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman agama.
2.
Fungsi
a.
Landasan
Pijak
Bahwa
NDP menjadi landasan pijak setiap gerak langkah dan kebijaksanaan yang harus
dilakukan
b.
Landasan
Berpikir
Bahwa NDP menjadi landasan
pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan – persoalan yang dihadapi
c.
Sumber
Motivasi
Bahwa NDP menjadi pendorong
kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung
didalamnya.
3.
Kedudukan
a.
Rumusan
nilai – nilai yag seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII
b.
Landasan
dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap dan berprilaku
II. RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN
1.
Tauhid
Meng-Esa-kan Allah SWT dari segi sifat, dzat,
dan perbuatannya merupakan nilai paling asasi dalam diri agama yang dibawa oleh
para Rasul Allah. Keyakinan demikian mengandung makna, bahwa tidak ada kekuatan
lain yang Maha Tinggi dan Maha Mutlak selain Allah SWT. Allah adalah dzat yang
fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah dan memelihara alam
semesta. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan mendorong manusia.
Allah Maha Mengetahui, Maha menolong, Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Tunggal,
Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujian dan penghambaan.
“Dialah Allah tiada Tuhan selain Dia yang mengetahui
barang yang ghaib dan yang nyata. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. (QS.
Al-Hasr: 22).
Tauhid juga mengandung makna, bahwa
manusia hidup di dunia ini adalah satu atau tunggal, karena proses kejadiannya
diciptakan dari Dzat yang satu, yaitu Allah SWT. di samping itu manusia juga
diciptakan dari “asal” yang satu, yaitu tanah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu sari pati (berasal) dari tanah”. (QS.
Al-Mukminun: 12).
“…..Iblis berkata : Aku lebih baik dari
padanya, karena Engkau ciptakan aku dari Api, sedangkan dia Engkau ciptakan dia
dari tanah”. QS. Shaad: 38).
Pemikiran demikian harus membawa pada
pemahaman, bahwa di dunia ini hakekatnya adalah sama, perbedaan itu hanya
terletak pada simbolik-formal semata. Tidak ada yang lebih tinggi dan mulya
derajatnya antara satu dengan yang lain. Karena sesungguhnya ukuran ketinggian
dan kemulyaan manusia derajat bergantung pada kualitas hidup di dunia ini.
Pemahaman kepada Tauhid yang demikian membawa
pada; Pertama, keyakinan seperti itu merupakan keyakinan yang berdimensi
transendental dan humanis yang mengarahkan pada proses kesadaran hidup yang
berkemanusian. Kedua, Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak,
melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam
hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka,
konsekwensinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus mampu melarutkan dan
meneteskan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta tersosialisasikan
merambah sekelilingya. Ketiga, Dalam memahami dan mewujudkannya, pergerakan
telah memiliki ahlussunah waljama’ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan
keyakinan itu.
2.
Hubungan
Manusia dengan Allah
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia
menciptakan manusia sebaik-baik kejadian dan menganugrahkan kedudukan terhormat
kepada manusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain.
“Sesungguhnya telah Aku Ciptakan manusia
dalam bentuk yang terbaik”. (QS. Al-Thiin: 4).
"Dan sesengguhnya
telah aku muliakan anak adam; aku tanggung mereka dalam darat dan laut; aku
anugrahi mereka rizki yang bagus-bagus; dan aku telah mengutamakan mereka
melebihi ciptaan-ciptaan-ku dengan sebenar-benarnya kemuliaan" (QS. Al-Isra’: 70).
Dalam proses penciptaan tersebut terdapat dua
hal yang harus diemban oleh manusia di dunia ini.
Pertama,
manusia sebagai hamba Allah yang harus tunduk atas segala bentuk ketentuan
Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Sebagai “hamba” manusia tidak punya
hak untuk mempertanyakan apalagi mengingkari titah Tuhan tersebut. Bagi manusia
hanya punya kewajiban untuk menjalankannya. Dalam hubungannya dengan Tuhan,
manusia menempati posisi sebagai ciptaan, dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi
ini memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh dengan
segala totalitas kepada Allah SWT. Pengingkaran manusia dalam penghambaan diri
kepada Allah akan mengakibatkan penghambaan diri pada hawa nafsunya.
“Dan tiadalah Aku ciptakan manusia dan
Jin kecuali hanya untuk tunduk dan patuh”. (QS.
Al-Dzariyat: 56).]
Kedua, manusia sebagai khalifah yang mengemban mandat yang
diberikan Allah SWT kepadanya untuk mewujudkan kemakmuran hidup di muka bumi,
bukan untuk menghancurkannya.
“Dan ketika Tuhan berkata kepada
para malaikat : sesungguhnya Aku jadikan di muka bumi ini seorang kahlifah. Maka
para malaikat bertanya : apakah Engkau menciptakan manusia itu justru akan
terjadi keruskan dan pertumpahan darah ?, sedangkan kami selalu bertasbih
kepada-Mu dan memuji-Mu, mensucikan-Mu. Allah berkata : sesungguhnya aku lebih
tahu apa yang tidak kamu ketahui”. (QS.
Al-Baqarah: 30).
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia iu
bersifat kreatif yang memungkinkan dia mengola serta mendayagunakan segala
sesuatu di bumi untuk kepentingan manusia. Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan
mengajarkan kepada manusia kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan
melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang
terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun konsep-konsep serta
melakukan rekayasa baru dalam alam kebudayaan. Sebagai khalifah manusia diberi
wewenng berupa kebebasan atau kemerdekaan memilih dan menentukan, sehingga
dengan kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan atau
kemerdekaan manusia disebabkan karena kedudukannya untuk memimpin, sehingga
pemimpin tidak tunduk kepada siapapun disekelilingnya, kecuali kepada yang
memberi kepemimpinan. Karena itu, kebebasan atau kemerdekaan manusia sebagai
khalifah harus bertumpu pada landasan tauhid, sehingga kebebasan yang
dimilikinya tidak menjadikannya bertindak sewenang-wenang. Dengan kata lain,
kebebasan manusia adaah kebebasan yang bertanggung jawab.
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah
di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa
dirinya. Dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah
kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. (QS.
Fathir: 39).
Kedua kedudukan seperti itu ditandai dengan
pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah
yang memungkinkan manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba
Allah. Di samping itu kedua kedudukan harus dijalani secara seimbang, lurus,
dan teguh dengan tidak hanya menjalani yang satu dengan mengabaikan yang lain.
Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan
fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan
mengejawantahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan dengan Allah juga harus
dijalani dengan ikhlas. Artinya pola dijalani dengan mengharapkan keridloan
dari Allah. Sehingga pusat perhatian dengan menjalani dua pola ini adalah
ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak
Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan kepada proses menjadi insan
yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti dan
niat ikhtiar, akn muncul manusia-manusia yang mempunyai kesadaran tinggi,
kreatif, dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah. Sekaligus didukung dengan
ketaqwaan dan tidak pernah pongah kepada Allah.
Dengan karunia Akal, manusia berpikir,
merenungkan tentang ke-Mahakuasaan-Nya, yakni kemahaan yang tidak tertandingi
oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi
positif memungkinkan dirinya untuk menirukan fungsi ke-Maha-an-Nya itu. Sebab
dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah, yakni fitrah suci yang selalu
memproyeksikan tentang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika
manusia melakukan sujud dan dzikir kepada-Nya, berarti manusia tengah menjalani
fungsi al-Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada
tetangga dan sesamanya, maka berarti ia telah memerankan fungsi ar-Rahman dan
ar-Rahim. Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk
mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi al-Ghoniyyu. Demikian
pula, dengan peran ke-Maha-an Allah yang lain, as-Salam, al-Mu’min, dan
sebagainya.
Di dalam melakukan pekerjaannya manusia
diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling
disukai. Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang
setimpal dan sesuai dengan apa yang diupayakan. Karenanya manusia dituntut
untuk selalu memfungsikan secara maksimal kemerdekaan yang dimilikinya, baik
secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks ditengah-tengah
kehidupan alam dan kerumunan masyarakat. Sekalipun didalam diri manusia
dikaruniai “kemerdekaan” sebagai essensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya,
namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab
perputaran itu semata-mata tetap dikendalikan oleh kepastian-kepastian yang
Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Semua alam semesta selalu tunduk pada
sunnah-Nya, pada keharusan universal atau taqdir. Jadi manusia bebas berbuat
dan berusaha (ikhtiar) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi
muslim atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin. Manusia harus
berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil jerih
payah dan karyanya. Keterbatasan-keterbatasan manusia harus untuk disadari.
Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus
dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak
fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan
lapang dada, qona’ah (menerima) karena
disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan
harus disertai dengan sikap tawakkal kepada-Nya.
3.
Hubungan
Manusia dengan Manusia
Kenyataan
bahwa Allah meniupkan ruh-Nya kepada materi dasar manusia, menunjukkan bahwa
manusia berkedudukan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah. Kesadaran moral dan
keberaniannya untuk memikul tanggung jawab dan amanat dari Allah yang disertai
dengan mawas diri menunjukkan posisi dan kedudukannya. Memahami ketinggian
eksistensi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, manusia mempunyai kedudukan
yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sebagai warga dunia, manusia harus
berjuang dan menunjukkan peran yang dicita-citakan.
Tidak
ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya, kecuali ketaqwaanya.
“Wahai manusia, sesungguhnya telah Aku ciptakan engkau
dari laki-laki dan perempuan, dan telah Aku jadikan engkau berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku hanyalah untuk saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya
manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang berqtawa. (QS. Al-Hujurat: 13)
Setiap
manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri
seseorang tentang potensi kebaikannya, tetapi ada pula yang terlalu menonjol
potensi kelemahannya. Karena kesadaran ini, manusia harus saling menolong,
saling menghormati, bekerja sama, menasehati, dan saling mengajak kepada
kebenaran demi kebaikan bersama.
Manusia
telah dan harus selalu mengembangkan potensinya untuk menanggap terhadap
kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan
kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian, maka
hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi,
dan sebagian dirubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan
manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai, sehingga budaya
yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut
dilestarikan, sedangkan budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka
bersikap tersebut mengisyaratkan adanya upaya bergerak secara dinamik dan
kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut memanfaatkan potensinya yang
telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru
manusia menyadari asal mulanya kejadian dan makna kehadirannya didunia.
Dengan
demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia
dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam berhubungan dengan Allah. Manusia dan alam
selaras dengan perkembangan kehidupan dan mengingat perkembangan suasana.
Memang manusia harus menegakkan iman, taqwa, dan amal sholeh guna mewujudkan
kehidupan yang baik dan penuh rahmat didunia. Didalam kehidupan dunia itu,
sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing,
bersederajat, berlaku adil, dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk itu
diperlukan usaha bersama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan,
komunikasi, dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus
menerus dilakukan sepanjang sejarah.
Melalui
pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan
kerelaan dan kesepakatan untuk bekerjasama serta berdampingan setara dan saling
pengertian. Bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimaksudkan untuk
mewujudkan cita-cita bersama yakni hidup dalam kemajuan, keadilan,
kesejahteraan, dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan
hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan
hubungan antara muslim dan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia
dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran islam
sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini,
dibina hubungan dan kerjasama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan
bersama ummat manusia. (QS. Al-Baqarah: 213) kana al-nasu ummatan wahidan, fa
ba’atsa allahu al-nabiyyina mubasysyirina wa mundzirina, wa anzala ma’ahum
al-kitaba bi al-haqqi li yahkuma bayna al-nasi fi ma ikhtalafu fihi, wa ma
ikhtalafa fihi illa al-ladzina utuhu min ba’di ma ja’at hum al-bayyinatu
baghyan baynahum, fa hada allahu al-ladzina amanu lima ikhtalafu fihi min
al-haqqi bi idznih, wa allahu yahdi man yasaya’u ila shirotin mustaqimin.
Nilai-nilai
yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan
antar insan pergerakan, persaudaraan sesama islam, persaudaraan sesama warga
negara dan persaudaraan sesama ummat manusia. Perilaku persaudaraan ini, harus
menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan kemanfaatan
maksimal untuk diri dan lingkungan sekitarnya.
4.
Hubungan
Manusia dengan Alam
Alam
semesta adalah ciptaan Allah SWT. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.
Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat, dan perbuatan Allah.
Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam.
Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah
menundukan alam bagi manusia, dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang
terjadi, maka manusia akan terjebak dalam
pengahambaan terhadap alam, bukan penghambaan terhadap Allah. Allah
mendudukan manusia sebagai khalifah. Sudah sepantasnya manusia menjadikan bumi sebagai wahana dan
obyek bertauhid dan menegaskan keberadaan dirinya.
Perlakuan
manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan didunia
dan diarahkan kepada kebaikan di akherat. Disini berlaku upaya berkelanjutan
untuk mentransedentasikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akherat adalah
masa depan eskatologis yang tidak terelakan. Kehidupan akherat akan dicapai
dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal sholeh.
Kearah
semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya
cara-cara memanfaatkan alam,mamakmurkan bumi, dan menyelenggarakan kehidupan
pada umumnya juga harus berkesesuaian
dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut.
Cara-cara itu dilakukan dengan mencukupi kebutuhkan dasar dalam kehidupan
bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin
kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan. Maka
jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk
kemakmuran bersama. Hidup bersama antar
manusia berarti hidup dalam kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa. Tapi
tidak jarang manusia dalam memanfaatkan alam itu secara berlebih-lebihan,
sehingga yang terjadi adalah kerusakan dengan memakan korban kemanusiaan dan
alam itu sendiri.
“Telah nyata kerusakan di darat dan laut ini, karena disebabkan oleh ulah tangan
manusia. Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus”. (QS.
Al-Rum: 41).
“…..dan berbuat
baiklah baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. (QS.
Al-Qasas: 77).
Salah
satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka
memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia.
Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan
dan hukum tersendiri. Alam perlu didayagunakan
dengan tidak mengesampikan aspek pelestariannya.
Sumber
pengetahuan adalah Allah. Penguasaan dan pengembangannya disandarkan pada
pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh
ciptaan-Nya. Untuk mengetahui dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat
Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di
sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihat yang utuh terhadap
ayat-ayat Allah. Pengembangan pemahaman tersebut pada akhirnya tersistematis
dalam ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi. Iptek itu merupakan
perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Iptek juga
menunjuk pada kebaharuan manusia yang terus
berubah. Penciptaan, pengembangan
dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika
manusia mengingkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama,
usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat
kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kedamaian.
Semua
hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan
keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia
dapar menempatkan diri pada derajat yang tinggi.