Monday, December 18, 2017



Membincang ke-Islam-an di negeri kita, merupakan sebuah hal lain dari pada yang lain (out of the box). Pasalnya negara yang berdiri sejak tahun 1945 ini bukan negara yang menggunakan landasan syariah dalam konstitusinya. Padahal jikalau melihat rasio dari jumlah penduduk, Indonesia hampir 90 persennya adalah muslim. Sikap inilah yang diambil oleh tim perumus Piagam Jakarta, diantaranya para Kiai NU yang menunjukkan sikap moderat. Beliau-beliau menyadari betul bahwa lanskapnation-state negeri kita adalah bangsa yang majmuk, berkeragaman budaya, suku dan agama. Diputuskanlah Negara Kesatuan Republik Indonesia. NU berpandangan, Islam tidak perlu diformalisasikan dalam bentuk negara, namun cukup menjadi laku etik para pemeluknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mencontoh pada apa yang dilakukan Rasulullah SAW saat berada di kota Madinah, yang menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan, dakwah keagamaan dan pembangunan akhlaqulkarimah masyarakat. Proses dialog harmonis antara agama dan realitas sosial akan mewujudkan tata masyarakat yang saling menghargai dan damai. Strategi dakwah seperti ini yang dilakukan oleh Walisongo, terjaga oleh pondok-pondok pesantren di bawah naungan para Kiai, dan terserap di setiap jiwa penduduk muslim kita. Sehingga amat disayangkan apabila hari ini ada yang mencoba mengusik keadaan tersebut. Kelompok yang mengaku melakukan dakwah, namun menggunakan cara pemaksaan, kekerasan bahkan pelanggaran HAM. Kita lihat saja FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Laskar Jihad Ahlusunnah wal Jama’ah dan Salafi, gerakan dakwah mereka sangat tidak mencerminkan wajah Islam yang rahmatanlil ‘alamiin. Gus Dur pernah berpesan bahwa “Kita butuh Islam Ramah, bukan Islam Marah”. Yang lebih berbahaya lagi yaitu agenda politik mereka yang sebenarnya ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam untuk mewujudkan kembali Khilafah Islamiyyah di dunia. Padahal sejarah telah memcatat tidak ada Negara Islam yang mampu langgeng dan bertahan melewati arus modernisasi seperti saat ini.
Selain itu, belum lama ini ada kericuhan di negeri kita. Dimana bebrapa ORMAS Islam turun jalan menuntut mantan gubernur Jakarta karena perkataannya menyinggung hati umat Islam dengan mengutip salah satu ayat dalam pidatonya. Dengan dalih apa yang dikatan pak basuki ini mengatakan bahwa ayat Qur'an berbohong. Padahal beliau sudah klarifikasi dan minta maaf, namun masih dipermasalahkan hingga terjadi perdebatan yang panjang dan alot Sehingga Pak Basuki ditahan. Dengan momen PILKADA jakarta saat itu dan momen - momen panas beserta pemanfaatan. Mungkin ini yang disebut agama hanya alat politis. Sangat disayangkan jika agama Islam menjadi tidak lagi teduh dan mengayumi para umat. Ayat-ayat suci hanya sebagai kendaraan. Hati umat tergugah dan dimanfaatkan. Muncul aksi berjilid-jilid yang notabene tidak perlu dilakukan dan digencar-gencarkan. Membiarkan umat tergerus arus kebodohan. Mereka yang lalim merasa paling alim. Mengkafirkan sana - sini guna melegitimasi keimananya yang paling sempurrna. Membuat wajah umat Islam seperti senjata pembunuh bagi yang tidak sepaham.
Disinilah peran kader muda Nahdlatul Ulama’, yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PMII) untuk berjuang dalam menjaga dan melestarikan apa yang telah diajarkan oleh para pendahulunya. Internalisasi nilai dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah (disingkat Aswaja) wajib untuk dilakukan saat ini. Aswaja harus dipahami secara kaffah, mulai dari aspek sejarah, landasan teologis, nilai dan ajaran keseharian sampai pada upaya perwujudan peradaban umat muslim di masa depan. Aswaja yang tidak hanya menjunjung toleransi, keseimbangan, moderat, keadilan, namun juga merespon modernitas, demokrasi, persamaan gender, HAM, pluralisme. Aswaja yang berupaya menjaga laku tradisional serta local widom di lapisan masyarakatnya. Sebagai upaya strategis pengurus komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) STIT AL FATTAH yang bermaksud untuk mewujudkan hal-hal diatas, kami memandang penting untuk melaksanakan “SEKOLAH ASWAJA”. Sebuah forum kaderisasi non-formal untuk kader PMII yang disiapkan menghadapi masa depan. Forum yang selain untuk menyambung jejaring intelektual muda NU di kawasan Pantura Jawa, juga memperkaya wawasan dan militansi terahadap slogan “NKRI Harga Mati”. Dan kali ini kami mengangkat tema “MEMPERKUAT NILAI ASWAJA GUNA MENANGGULANGI BAHAYA FAHAM RADIKALISME DAN FAHAM INTOLERAN ” untuk memperteguh perjuangan kemerdekaan Indonesia kami di Islam Nusantara ini.

next....akan ada ulasan materi yang akan disahre..jangan lupa untuk mengklik tombol mengikuti ya. Biar komisariat STITAF dalam bermedia dan memberikan informasinya semakin baik dan semoga memberikan kemafaatan bagi para pembaca sekalian...Salam takdzim kami...

By : santri pergerakan


Sunday, December 17, 2017


Inilah kami wahai Indonesia
Satu barisan dan satu cita
Pembela bangsa, penegak agama
Tangan terkepal dan maju kemuka
Habislah sudah masa yang suram
Selesai sudah derita yang lama
Bangsa yang jaya
Islam yang benar
Bangun tersentak dari bumiku subur
*Reff :
Denganmu PMII
Pergerakanku
Ilmu dan bakti, ku berikan
Adil dan makmur kuperjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku
Inilah kami wahai Indonesia
Satu angkatan dan satu jiwa
Putera bangsa bebas meerdeka
Tangan terkepal dan maju kemuka
Denganmu PMII
Pergerakanku
Ilmu dan bakti, ku berikan
Adil dan makmur kuperjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
Hubbul Wathon minal Iman
Wala Takun minal Hirman
Inhadlu Alal Wathon
(2 X)

Indonesia Biladi
Anta ‘Unwanul Fakhoma
Kullu May Ya’tika Yauma
Thomihay Yalqo Himama

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku

Indonesia Negriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa di bawah durimu




Penulis adalah Ketua PB PMII 2014-2016, Ketua Kaderisasi Nasional

Oleh Munandar Nugraha

Palu, 16-19 Mei 2017 teragendakan kongres PMII yang ke-XIX. Sebuah kebanggaan bagi seluruh kader dan alumni, kongres kali ini adalah yang kedua kalinya dibuka oleh Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo. Setelah yang pertama dibuka oleh Presiden RI, Ir. Soekarno pada kongres PMII di tahun 1963 yang lalu.

Pada kongres kali ini, berkembang beberapa gagasan yang mungkin akan membuka ruang dialektika dan perdebatan yang hangat dari seluruh kader PMII se-Indonesia. Atas nama Ketua Kaderisasi Nasional yang sebentar lagi demisioner, tentu kami memiliki beberapa catatan dan konsep yang akan kami dorong sebagai ikhtiar “perapihan organisasi”.  

Beberapa gagasan tersebut diantaranya adalah: pertama, menyoal hasil Muktamar NU 2015 di Jombang  yang memutuskan bahwa PMII adalah Banom NU. Sebagian besar kader dan alumni ingin ada “keputusan final” tentang status PMII ini ditetapkan dalam kongres, sebagai forum tertinggi organisasi. Kedua, menyoal strategi rekrutmen kepemimpinan PMII diberbagai level dengan berbagai persyaratan (pembatasan usia, IPK minimal, dll). Ketiga, menyoal pemilihan ketua KOPRI PB PMII (secara langsung atau dipilih melalui formatur). Keempat, menyoal tawaran bab kaderisasi dalam ADRT.

Pada forum pertemuan PB PMII dengan PB IKA PMII minggu lalu di Jakarta, ketika kami berkoordinasi dan berkonsultasi terkait dengan penyelenggaraan kongres di Palu. Pun salah satu poin penting yang dibahas adalah keputusan Muktamar NU, PMII adalah Banom NU. Sebagian besar alumni mendorong agar ada putusan terkait hal tersebut di kongres. Menyikapi hal ini, saya mencoba memberikan catatan dengan beberapa poin. Pertama, secara keorganisasian, putusan Muktamar NU, tidak compatible dengan kongres PMII. Artinya, putusan PMII tidak bisa menganulir putusan Muktamar NU.

Muktamar NU adalah forum tertinggi alim ulama, dan PMII hadir di negeri ini justru karena mandat para alim ulama untuk mengisi kaderisasi intelektual warga NU di perguruan tinggi dengan mengedepankan pemahaman Islam Ahlussunnah wal jamaah. Sehingga menyikapi putusan muktamar tersebut, semestinya PMII sami’na wa atho’na. Toh, sekalipun putusan kongres menolak, tidak akan merubah putusan muktamar. Dalam konteks ini, penting kita pahami agenda strategis NU dalam perspektif yang lebih luas, tidak hanya berkutat dalam perdebatan “dependen vs independen vs interdependensi”secara formalistik.

Selama ini, ketika berhadapan dengan kelompok radikal yang ingin mendorong syariat Islam secara formal, kita dengan bulat bersepakat, bahwa Pancasila dan NKRI sudah final. Karena di dalamnya sudah tertanam rumusan yang Islami secara nilai. Apakah perlu kita (PMII) memformalkan PMII sebagai Banom NU? Padahal NU sudah dengan tegas memutuskan PMII sebagai Banom? Kita semua bersepakat, secara nilai, PMII mengusung nilai-nilai ke-NU-an sejak berdirinya.

Terlepas dari perdebatan yang ada, jika memang penting ada keputusan kongres terkait hal tersebut, kemudian saya mengusulkan, bahwa di Mukadimah ADRT PMII pada alenia terakhir yang berbunyi, “Maka atas berkat rahmat Allah SWT, dibentuklah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah (ditambahkan istilah An-Nahdliyah) dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai berikut:”

Kedua, menyoal strategi rekrutmen kepemimpinan PMII. Diawal periode 2014-2017, kami membuat Tap Pleno yang mengatur strategi rekrutmen kepemimpinan dengan pembatasan-pembatasan, baik usia, IPK minimal dan jenjang pendidikan calon ketua Rayon, Komisariat, Cabang dan Koorcab (yang selama ini tidak ada). Tentu memulai hal yang baru akan mendapati benturan dan penolakan, apalagi jika hal tersebut dianggap “merugikan”. Syukur alhamdulillah dalam periode ini hal tersebut sudah terlaksana, padahal diawal ketika kebijakan ini ditetapkan banyak sekali wacana penolakan yang muncul. intinya, jika kita meyakini bahwa PMII adalah organisasi kader, maka usia kepengurusan dari setiap level struktur PMII harus disesuaikan berjenjang. Sangat tidak elok kalaupun ada UU tentang kepemudaan bahwa batas maksimal usia pemuda adalah 30 tahun, dan usia itu menjadi batasan PB PMII, kemudian di tingkat rayon pun usianya sama. Ini bisa mengacaukan skema kaderisasi di PMII. 

Maka dari itu memang PMII secara garis besar tidaklah keluar NU namun melihat dari perbedaan prespektif dari kultural dan struktural kita masih dikatakan sebagai jama'ah yang mengekor pada tataran ajaran yang digunakan NU. Bagi saya mungkin permasalah tentang penekanan dari orang tua melainkan jenjang usia dari setiap BANOM yang masih bertambrakan. Tidak bisa dipakasakan memang kalau di IPNU - IPPNU sendiri memiliki standarisasi umur maksimal 24 sedangkan di PMII selesai wisuda berada ditataran komisariat. Maka inilah yang menjadi kaca mata besarnya kenapa guncangan penolakan masih ada di kader PMII meskipun kita masihlah NU namun penguatan itu memang butuhkan struktural. Karena masih ada kaca mata sebelah yang mengatakan kita bukan NU hanya ala NU saja. Ini akan menjadi debat kusir dan berujung pada interdepensi saja. BANOM bagi penulis adalah penguatan kaderisasi namun jika dipandang secara politis maka akan salah tafsir dan mengatakan bahwa keterikatan memunculkan keterbatasan. Lah ini yang akan jadi debat kusirnya.

Semoga kedepannya ada sistem yang bagus untuk setiap banomnya agar dari setiap jenjang kaderisasi tidaklah tumpang tindih, kemudian bisa saling melengkapi antar banom. NU merupakan rumah besar yang menjadi tempat ternyaman bagi kita berteduh dan menyelesaikan beban masalah. Ini yang harus bisa kita selesaikan bersama. Selagi kopi ini masih hangat mari diseduh pelan-pelan dan menikmati rasa yang mantap sebagai warga nahdliyin.

Sebagian besar tulisan ini dari mantan PB kemudian penarikan tulisan akhir sebagai kacamata pendapat serta sebagai keluh kesah sederhana. Semoga memberikan manfaat...

by : santri pergerkan