Sunday, December 17, 2017

PMII DENGAN NU





Penulis adalah Ketua PB PMII 2014-2016, Ketua Kaderisasi Nasional

Oleh Munandar Nugraha

Palu, 16-19 Mei 2017 teragendakan kongres PMII yang ke-XIX. Sebuah kebanggaan bagi seluruh kader dan alumni, kongres kali ini adalah yang kedua kalinya dibuka oleh Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo. Setelah yang pertama dibuka oleh Presiden RI, Ir. Soekarno pada kongres PMII di tahun 1963 yang lalu.

Pada kongres kali ini, berkembang beberapa gagasan yang mungkin akan membuka ruang dialektika dan perdebatan yang hangat dari seluruh kader PMII se-Indonesia. Atas nama Ketua Kaderisasi Nasional yang sebentar lagi demisioner, tentu kami memiliki beberapa catatan dan konsep yang akan kami dorong sebagai ikhtiar “perapihan organisasi”.  

Beberapa gagasan tersebut diantaranya adalah: pertama, menyoal hasil Muktamar NU 2015 di Jombang  yang memutuskan bahwa PMII adalah Banom NU. Sebagian besar kader dan alumni ingin ada “keputusan final” tentang status PMII ini ditetapkan dalam kongres, sebagai forum tertinggi organisasi. Kedua, menyoal strategi rekrutmen kepemimpinan PMII diberbagai level dengan berbagai persyaratan (pembatasan usia, IPK minimal, dll). Ketiga, menyoal pemilihan ketua KOPRI PB PMII (secara langsung atau dipilih melalui formatur). Keempat, menyoal tawaran bab kaderisasi dalam ADRT.

Pada forum pertemuan PB PMII dengan PB IKA PMII minggu lalu di Jakarta, ketika kami berkoordinasi dan berkonsultasi terkait dengan penyelenggaraan kongres di Palu. Pun salah satu poin penting yang dibahas adalah keputusan Muktamar NU, PMII adalah Banom NU. Sebagian besar alumni mendorong agar ada putusan terkait hal tersebut di kongres. Menyikapi hal ini, saya mencoba memberikan catatan dengan beberapa poin. Pertama, secara keorganisasian, putusan Muktamar NU, tidak compatible dengan kongres PMII. Artinya, putusan PMII tidak bisa menganulir putusan Muktamar NU.

Muktamar NU adalah forum tertinggi alim ulama, dan PMII hadir di negeri ini justru karena mandat para alim ulama untuk mengisi kaderisasi intelektual warga NU di perguruan tinggi dengan mengedepankan pemahaman Islam Ahlussunnah wal jamaah. Sehingga menyikapi putusan muktamar tersebut, semestinya PMII sami’na wa atho’na. Toh, sekalipun putusan kongres menolak, tidak akan merubah putusan muktamar. Dalam konteks ini, penting kita pahami agenda strategis NU dalam perspektif yang lebih luas, tidak hanya berkutat dalam perdebatan “dependen vs independen vs interdependensi”secara formalistik.

Selama ini, ketika berhadapan dengan kelompok radikal yang ingin mendorong syariat Islam secara formal, kita dengan bulat bersepakat, bahwa Pancasila dan NKRI sudah final. Karena di dalamnya sudah tertanam rumusan yang Islami secara nilai. Apakah perlu kita (PMII) memformalkan PMII sebagai Banom NU? Padahal NU sudah dengan tegas memutuskan PMII sebagai Banom? Kita semua bersepakat, secara nilai, PMII mengusung nilai-nilai ke-NU-an sejak berdirinya.

Terlepas dari perdebatan yang ada, jika memang penting ada keputusan kongres terkait hal tersebut, kemudian saya mengusulkan, bahwa di Mukadimah ADRT PMII pada alenia terakhir yang berbunyi, “Maka atas berkat rahmat Allah SWT, dibentuklah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah (ditambahkan istilah An-Nahdliyah) dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai berikut:”

Kedua, menyoal strategi rekrutmen kepemimpinan PMII. Diawal periode 2014-2017, kami membuat Tap Pleno yang mengatur strategi rekrutmen kepemimpinan dengan pembatasan-pembatasan, baik usia, IPK minimal dan jenjang pendidikan calon ketua Rayon, Komisariat, Cabang dan Koorcab (yang selama ini tidak ada). Tentu memulai hal yang baru akan mendapati benturan dan penolakan, apalagi jika hal tersebut dianggap “merugikan”. Syukur alhamdulillah dalam periode ini hal tersebut sudah terlaksana, padahal diawal ketika kebijakan ini ditetapkan banyak sekali wacana penolakan yang muncul. intinya, jika kita meyakini bahwa PMII adalah organisasi kader, maka usia kepengurusan dari setiap level struktur PMII harus disesuaikan berjenjang. Sangat tidak elok kalaupun ada UU tentang kepemudaan bahwa batas maksimal usia pemuda adalah 30 tahun, dan usia itu menjadi batasan PB PMII, kemudian di tingkat rayon pun usianya sama. Ini bisa mengacaukan skema kaderisasi di PMII. 

Maka dari itu memang PMII secara garis besar tidaklah keluar NU namun melihat dari perbedaan prespektif dari kultural dan struktural kita masih dikatakan sebagai jama'ah yang mengekor pada tataran ajaran yang digunakan NU. Bagi saya mungkin permasalah tentang penekanan dari orang tua melainkan jenjang usia dari setiap BANOM yang masih bertambrakan. Tidak bisa dipakasakan memang kalau di IPNU - IPPNU sendiri memiliki standarisasi umur maksimal 24 sedangkan di PMII selesai wisuda berada ditataran komisariat. Maka inilah yang menjadi kaca mata besarnya kenapa guncangan penolakan masih ada di kader PMII meskipun kita masihlah NU namun penguatan itu memang butuhkan struktural. Karena masih ada kaca mata sebelah yang mengatakan kita bukan NU hanya ala NU saja. Ini akan menjadi debat kusir dan berujung pada interdepensi saja. BANOM bagi penulis adalah penguatan kaderisasi namun jika dipandang secara politis maka akan salah tafsir dan mengatakan bahwa keterikatan memunculkan keterbatasan. Lah ini yang akan jadi debat kusirnya.

Semoga kedepannya ada sistem yang bagus untuk setiap banomnya agar dari setiap jenjang kaderisasi tidaklah tumpang tindih, kemudian bisa saling melengkapi antar banom. NU merupakan rumah besar yang menjadi tempat ternyaman bagi kita berteduh dan menyelesaikan beban masalah. Ini yang harus bisa kita selesaikan bersama. Selagi kopi ini masih hangat mari diseduh pelan-pelan dan menikmati rasa yang mantap sebagai warga nahdliyin.

Sebagian besar tulisan ini dari mantan PB kemudian penarikan tulisan akhir sebagai kacamata pendapat serta sebagai keluh kesah sederhana. Semoga memberikan manfaat...

by : santri pergerkan



No comments:

Post a Comment