Penulis adalah Ketua PB PMII
2014-2016, Ketua Kaderisasi Nasional
Oleh Munandar Nugraha
Palu, 16-19 Mei 2017 teragendakan
kongres PMII yang ke-XIX. Sebuah kebanggaan bagi seluruh kader dan alumni,
kongres kali ini adalah yang kedua kalinya dibuka oleh Presiden RI, Bapak Ir.
Joko Widodo. Setelah yang pertama dibuka oleh Presiden RI, Ir. Soekarno pada
kongres PMII di tahun 1963 yang lalu.
Pada kongres kali ini, berkembang
beberapa gagasan yang mungkin akan membuka ruang dialektika dan perdebatan yang
hangat dari seluruh kader PMII se-Indonesia. Atas nama Ketua Kaderisasi
Nasional yang sebentar lagi demisioner, tentu kami memiliki beberapa catatan
dan konsep yang akan kami dorong sebagai ikhtiar “perapihan organisasi”.
Beberapa gagasan tersebut
diantaranya adalah: pertama, menyoal hasil Muktamar NU 2015 di Jombang
yang memutuskan bahwa PMII adalah Banom NU. Sebagian besar kader dan alumni
ingin ada “keputusan final” tentang status PMII ini ditetapkan dalam kongres,
sebagai forum tertinggi organisasi. Kedua, menyoal strategi rekrutmen
kepemimpinan PMII diberbagai level dengan berbagai persyaratan (pembatasan
usia, IPK minimal, dll). Ketiga, menyoal pemilihan ketua KOPRI PB PMII (secara
langsung atau dipilih melalui formatur). Keempat, menyoal tawaran bab
kaderisasi dalam ADRT.
Pada forum pertemuan PB PMII dengan
PB IKA PMII minggu lalu di Jakarta, ketika kami berkoordinasi dan berkonsultasi
terkait dengan penyelenggaraan kongres di Palu. Pun salah satu poin penting
yang dibahas adalah keputusan Muktamar NU, PMII adalah Banom NU. Sebagian besar
alumni mendorong agar ada putusan terkait hal tersebut di kongres. Menyikapi
hal ini, saya mencoba memberikan catatan dengan beberapa poin. Pertama, secara
keorganisasian, putusan Muktamar NU, tidak compatible dengan kongres
PMII. Artinya, putusan PMII tidak bisa menganulir putusan Muktamar NU.
Muktamar NU adalah forum tertinggi
alim ulama, dan PMII hadir di negeri ini justru karena mandat para alim ulama
untuk mengisi kaderisasi intelektual warga NU di perguruan tinggi dengan
mengedepankan pemahaman Islam Ahlussunnah wal jamaah. Sehingga menyikapi
putusan muktamar tersebut, semestinya PMII sami’na wa atho’na. Toh,
sekalipun putusan kongres menolak, tidak akan merubah putusan muktamar. Dalam
konteks ini, penting kita pahami agenda strategis NU dalam perspektif yang
lebih luas, tidak hanya berkutat dalam perdebatan “dependen vs independen vs
interdependensi”secara formalistik.
Selama ini, ketika berhadapan dengan
kelompok radikal yang ingin mendorong syariat Islam secara formal, kita dengan
bulat bersepakat, bahwa Pancasila dan NKRI sudah final. Karena di dalamnya
sudah tertanam rumusan yang Islami secara nilai. Apakah perlu kita (PMII)
memformalkan PMII sebagai Banom NU? Padahal NU sudah dengan tegas memutuskan
PMII sebagai Banom? Kita semua bersepakat, secara nilai, PMII mengusung
nilai-nilai ke-NU-an sejak berdirinya.
Terlepas dari perdebatan yang ada,
jika memang penting ada keputusan kongres terkait hal tersebut, kemudian saya
mengusulkan, bahwa di Mukadimah ADRT PMII pada alenia terakhir yang berbunyi,
“Maka atas berkat rahmat Allah SWT, dibentuklah Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia yang berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah (ditambahkan istilah
An-Nahdliyah) dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
sebagai berikut:”
Kedua, menyoal strategi rekrutmen
kepemimpinan PMII. Diawal periode 2014-2017, kami membuat Tap Pleno yang
mengatur strategi rekrutmen kepemimpinan dengan pembatasan-pembatasan, baik
usia, IPK minimal dan jenjang pendidikan calon ketua Rayon, Komisariat, Cabang
dan Koorcab (yang selama ini tidak ada). Tentu memulai hal yang baru akan
mendapati benturan dan penolakan, apalagi jika hal tersebut dianggap
“merugikan”. Syukur alhamdulillah dalam periode ini hal tersebut sudah
terlaksana, padahal diawal ketika kebijakan ini ditetapkan banyak sekali wacana
penolakan yang muncul. intinya, jika kita meyakini bahwa PMII adalah organisasi
kader, maka usia kepengurusan dari setiap level struktur PMII harus disesuaikan
berjenjang. Sangat tidak elok kalaupun ada UU tentang kepemudaan bahwa batas
maksimal usia pemuda adalah 30 tahun, dan usia itu menjadi batasan PB PMII,
kemudian di tingkat rayon pun usianya sama. Ini bisa mengacaukan skema
kaderisasi di PMII.
Maka dari itu memang PMII secara
garis besar tidaklah keluar NU namun melihat dari perbedaan prespektif dari
kultural dan struktural kita masih dikatakan sebagai jama'ah yang mengekor pada
tataran ajaran yang digunakan NU. Bagi saya mungkin permasalah tentang
penekanan dari orang tua melainkan jenjang usia dari setiap BANOM yang masih
bertambrakan. Tidak bisa dipakasakan memang kalau di IPNU - IPPNU sendiri
memiliki standarisasi umur maksimal 24 sedangkan di PMII selesai wisuda berada
ditataran komisariat. Maka inilah yang menjadi kaca mata besarnya kenapa
guncangan penolakan masih ada di kader PMII meskipun kita masihlah NU namun
penguatan itu memang butuhkan struktural. Karena masih ada kaca mata sebelah yang
mengatakan kita bukan NU hanya ala NU saja. Ini akan menjadi debat kusir dan berujung pada interdepensi saja. BANOM bagi penulis adalah penguatan kaderisasi namun jika dipandang secara politis maka akan salah tafsir dan mengatakan bahwa keterikatan memunculkan keterbatasan. Lah ini yang akan jadi debat kusirnya.
Semoga kedepannya ada sistem yang bagus untuk setiap banomnya agar dari setiap jenjang kaderisasi tidaklah tumpang tindih, kemudian bisa saling melengkapi antar banom. NU merupakan rumah besar yang menjadi tempat ternyaman bagi kita berteduh dan menyelesaikan beban masalah. Ini yang harus bisa kita selesaikan bersama. Selagi kopi ini masih hangat mari diseduh pelan-pelan dan menikmati rasa yang mantap sebagai warga nahdliyin.
Sebagian besar tulisan ini dari mantan PB kemudian penarikan tulisan akhir sebagai kacamata pendapat serta sebagai keluh kesah sederhana. Semoga memberikan manfaat...
by : santri pergerkan
No comments:
Post a Comment