Saturday, April 9, 2016

PMII ke 56....menyambut lahirnya PMII yang ke 56.

sudah deretan sejarah
tercucur dalam lembaran-lemabaran
kisah perjalanan manusia
yang berada dalam ruang besar
dengan bingkai kehijuan yang mulia
dan di balut warna kuning dan biru yang indah...

tidak lagi muda
namun tidak jua menua
bukan menghitung waktu
namun apa yang sudah di cetaknya...

sudah 56 tahun keberadaanmu
sudah sekian curahan emas kau ukirkan
di dada para insan yang kau harapkan
bentukmu takkan pernah berubah
tapi insan itu yang selalu berubah - ubah

senatah kemana atau dimana
ruang waktumu bukan suatu kekosongan yang tanpa arti
segala hitmat dan bakti
haruslah tersusun dalam sanubari paling dalam
biar ceremony ini bukan sekedar ucapan
tapi refleksi yang mendalam
tentang arti pengabdian besar serta cinta yang dalam......

PMII ke-56 (17 April 1960 - 2016)

by:
tinta kaderisasi

Sunday, March 27, 2016


alhamdulillah... 1 minggu lagi komisariat PMII STITAF Siman Sekaran Lamongan akan mengadakan pelatihan berupa sekolah aswaja, yang akan diadakan pada :

hari            : sabtu _ minggu
Tanggal      : 02 - 03 Maret 2016
Jam           : 08.00 - selesai
Tempat      : MWC NU Sekaran Lamongan

informasi lebih lanjut bisa menghubungi sahabat-sahabat dibawah ini :
Ach. Arrodli (ketua Komisariat) : 085646228772
Syaiful Ulum (Ketua Panitia)      : 085655219966

atau yang membutuhkan TOR bisa email ke email kami PMIISTITAF@gmail.com.

sekian dan terima kasih..sekali bendera dikibarkan hentikan ratapan dan tangisan
salam pergerakan dari kami salam sahabat dari kami
kami tunggu kehairnnya sahabat-sahabati

Wednesday, December 9, 2015

27 - 29 Nopember 2015, PK. PMII STITAF telah melaksanakan agenda tahuan dalam ranah roda organisasi yang harus terus berputar dengan menerima mahasiswa baru atau lama di kampus STITAF untuk menjadi nggota baru dan keluarga baru di komisariat PMII STITAF, yang mana kegiatan itu di sebut MAPABA (masa peneimaan anggota baru). fase awal bagi para mahasiswa yang ingin berproses di PMII. inilah start bagi para sahabat baru kita dalam melakukan pergerakan sebagai seorang mahasiswa. jika membahas MAPABA, penulis akan sangat singkat menjelaskan dan terlalu dangkal untuk memahami PMII karena proses awal tidak akan berarti apa-apa bagi para sahabat yang kemungkinan baru menyentuh dataran level pemula dalam ber PMII. Proses masih panjang jangan kau sia siakan hanya dengan berlandaskan pengalaman.....
Tulisan singkat ini awal dan akan ada sambungannya di lain waktu..see youu

Saturday, April 18, 2015

tiada perjuangan yang tak berarti
dan tiada air mata tak terurai
ketika kebenaran memudar
dan penindasan melontar

tiada kasih yang kan terputus
dan tiada tangan saling melepas
ketika orang mulai tak peduli
tentang nasib bangsa yang kan mati

kini usiamu tak lagi muda
banyak yang sudah di pertruhkan
demi sebuah kebenaran
dan tali kasih yang tereratkan

55 tahun sudah dirimu
55 tahun pula kau sudah mengabdi
demi segala hal yang berarti
sujud akan bangsamu takkan pernah berhenti

kami sang penegakmu
kami yang kan menjagamu
karena mereka telah menanamkan
sebuah arti akan pergerakan


"happy aniversary for PMII" 

Wednesday, October 15, 2014

Berkat rahmat Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk dimodikfikasi didalam tatanan nilai baku yang kemudian menjadi dicitra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NPD PMII). Hal ini dibutuhkan untuk memberi kerangka, arti, motivasi, wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
Insaf dan sadar bahwa semua ini adalah keharusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara personal maupun bersama-sama.

I.          ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN

1.         Arti
Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai keislaman dan keindonesiaan dengan kerangka pemahaman Ahlussunah Waljama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah, mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan yang meliputi cakupan akidah, syari'’h, dan akhlak dalam upaya memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan diakhirat. Dalam usaha memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunah wal jama’ah sebagai manhaj alfkr untuk mendekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman agama.
2.         Fungsi
a.   Landasan Pijak
Bahwa NDP menjadi landasan pijak setiap gerak langkah dan kebijaksanaan yang harus dilakukan
b.   Landasan Berpikir
Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan – persoalan yang dihadapi
c.   Sumber Motivasi
Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung didalamnya.
3.         Kedudukan
a.   Rumusan nilai – nilai yag seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan  dan kegiatan PMII
b.   Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap dan berprilaku

II.         RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN

1.         Tauhid
Meng-Esa-kan Allah SWT dari segi sifat, dzat, dan perbuatannya merupakan nilai paling asasi dalam diri agama yang dibawa oleh para Rasul Allah. Keyakinan demikian mengandung makna, bahwa tidak ada kekuatan lain yang Maha Tinggi dan Maha Mutlak selain Allah SWT. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah dan memelihara alam semesta. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan mendorong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha menolong, Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Tunggal, Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujian dan penghambaan.
Dialah Allah tiada Tuhan selain Dia yang mengetahui barang yang ghaib dan yang nyata. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hasr: 22).
Tauhid juga mengandung makna, bahwa manusia hidup di dunia ini adalah satu atau tunggal, karena proses kejadiannya diciptakan dari Dzat yang satu, yaitu Allah SWT. di samping itu manusia juga diciptakan dari “asal” yang satu, yaitu tanah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (berasal) dari tanah”. (QS. Al-Mukminun: 12).
 “…..Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari Api, sedangkan dia Engkau ciptakan dia dari tanah”. QS. Shaad: 38).
Pemikiran demikian harus membawa pada pemahaman, bahwa di dunia ini hakekatnya adalah sama, perbedaan itu hanya terletak pada simbolik-formal semata. Tidak ada yang lebih tinggi dan mulya derajatnya antara satu dengan yang lain. Karena sesungguhnya ukuran ketinggian dan kemulyaan manusia derajat bergantung pada kualitas hidup di dunia ini.
Pemahaman kepada Tauhid yang demikian membawa pada; Pertama, keyakinan seperti itu merupakan keyakinan yang berdimensi transendental dan humanis yang mengarahkan pada proses kesadaran hidup yang berkemanusian. Kedua, Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka, konsekwensinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus mampu melarutkan dan meneteskan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta tersosialisasikan merambah sekelilingya. Ketiga, Dalam memahami dan mewujudkannya, pergerakan telah memiliki ahlussunah waljama’ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.

2.         Hubungan Manusia dengan Allah
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia sebaik-baik kejadian dan menganugrahkan kedudukan terhormat kepada manusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain.
“Sesungguhnya telah Aku Ciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik”. (QS. Al-Thiin: 4).
"Dan sesengguhnya telah aku muliakan anak adam; aku tanggung mereka dalam darat dan laut; aku anugrahi mereka rizki yang bagus-bagus; dan aku telah mengutamakan mereka melebihi ciptaan-ciptaan-ku dengan sebenar-benarnya kemuliaan" (QS. Al-Isra’: 70).
Dalam proses penciptaan tersebut terdapat dua hal yang harus diemban oleh manusia di dunia ini.
Pertama, manusia sebagai hamba Allah yang harus tunduk atas segala bentuk ketentuan Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Sebagai “hamba” manusia tidak punya hak untuk mempertanyakan apalagi mengingkari titah Tuhan tersebut. Bagi manusia hanya punya kewajiban untuk menjalankannya. Dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia menempati posisi sebagai ciptaan, dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh dengan segala totalitas kepada Allah SWT. Pengingkaran manusia dalam penghambaan diri kepada Allah akan mengakibatkan penghambaan diri pada hawa nafsunya.
“Dan tiadalah Aku ciptakan manusia dan Jin kecuali hanya untuk tunduk dan patuh”. (QS. Al-Dzariyat: 56).]
Kedua, manusia sebagai khalifah yang mengemban mandat yang diberikan Allah SWT kepadanya untuk mewujudkan kemakmuran hidup di muka bumi, bukan untuk menghancurkannya. 
Dan ketika Tuhan berkata kepada para malaikat : sesungguhnya Aku jadikan di muka bumi ini seorang kahlifah. Maka para malaikat bertanya : apakah Engkau menciptakan manusia itu justru akan terjadi keruskan dan pertumpahan darah ?, sedangkan kami selalu bertasbih kepada-Mu dan memuji-Mu, mensucikan-Mu. Allah berkata : sesungguhnya aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia iu bersifat kreatif yang memungkinkan dia mengola serta mendayagunakan segala sesuatu di bumi untuk kepentingan manusia. Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan mengajarkan kepada manusia kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa baru dalam alam kebudayaan. Sebagai khalifah manusia diberi wewenng berupa kebebasan atau kemerdekaan memilih dan menentukan, sehingga dengan kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan atau kemerdekaan manusia disebabkan karena kedudukannya untuk memimpin, sehingga pemimpin tidak tunduk kepada siapapun disekelilingnya, kecuali kepada yang memberi kepemimpinan. Karena itu, kebebasan atau kemerdekaan manusia sebagai khalifah harus bertumpu pada landasan tauhid, sehingga kebebasan yang dimilikinya tidak menjadikannya bertindak sewenang-wenang. Dengan kata lain, kebebasan manusia adaah kebebasan yang bertanggung jawab.
 “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya. Dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. (QS. Fathir: 39).
Kedua kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. Di samping itu kedua kedudukan harus dijalani secara seimbang, lurus, dan teguh dengan tidak hanya menjalani yang satu dengan mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan mengejawantahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas. Artinya pola dijalani dengan mengharapkan keridloan dari Allah. Sehingga pusat perhatian dengan menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan kepada proses menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti dan niat ikhtiar, akn muncul manusia-manusia yang mempunyai kesadaran tinggi, kreatif, dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah. Sekaligus didukung dengan ketaqwaan dan tidak pernah pongah kepada Allah.
Dengan karunia Akal, manusia berpikir, merenungkan tentang ke-Mahakuasaan-Nya, yakni kemahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinya untuk menirukan fungsi ke-Maha-an-Nya itu. Sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah, yakni fitrah suci yang selalu memproyeksikan tentang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepada-Nya, berarti manusia tengah menjalani fungsi al-Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka berarti ia telah memerankan fungsi ar-Rahman dan ar-Rahim. Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi al-Ghoniyyu. Demikian pula, dengan peran ke-Maha-an Allah yang lain, as-Salam, al-Mu’min, dan sebagainya.
Di dalam melakukan pekerjaannya manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai dengan apa yang diupayakan. Karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal kemerdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks ditengah-tengah kehidupan alam dan kerumunan masyarakat. Sekalipun didalam diri manusia dikaruniai “kemerdekaan” sebagai essensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab perputaran itu semata-mata tetap dikendalikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Semua alam semesta selalu tunduk pada sunnah-Nya, pada keharusan universal atau taqdir. Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha (ikhtiar) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi muslim atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin. Manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil jerih payah dan karyanya. Keterbatasan-keterbatasan manusia harus untuk disadari. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, qona’ah (menerima) karena  disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepada-Nya.

3.         Hubungan Manusia dengan Manusia
Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruh-Nya kepada materi dasar manusia, menunjukkan bahwa manusia berkedudukan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah. Kesadaran moral dan keberaniannya untuk memikul tanggung jawab dan amanat dari Allah yang disertai dengan mawas diri menunjukkan posisi dan kedudukannya. Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sebagai warga dunia, manusia harus berjuang dan menunjukkan peran yang dicita-citakan.
Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya, kecuali ketaqwaanya.
Wahai manusia, sesungguhnya telah Aku ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan, dan telah Aku jadikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku hanyalah untuk saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang berqtawa. (QS.  Al-Hujurat: 13)
Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya, tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya. Karena kesadaran ini, manusia harus saling menolong, saling menghormati, bekerja sama, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.
Manusia telah dan harus selalu mengembangkan potensinya untuk menanggap terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian, maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian dirubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedangkan budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan adanya upaya bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru manusia menyadari asal mulanya kejadian dan makna kehadirannya didunia.
Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam berhubungan dengan Allah. Manusia dan alam selaras dengan perkembangan kehidupan dan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus menegakkan iman, taqwa, dan amal sholeh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat didunia. Didalam kehidupan dunia itu, sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing, bersederajat, berlaku adil, dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk itu diperlukan usaha bersama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi, dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus menerus dilakukan sepanjang sejarah.
Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerjasama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama yakni hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan hubungan antara muslim dan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran islam sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina hubungan dan kerjasama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama ummat manusia. (QS. Al-Baqarah: 213) kana al-nasu ummatan wahidan, fa ba’atsa allahu al-nabiyyina mubasysyirina wa mundzirina, wa anzala ma’ahum al-kitaba bi al-haqqi li yahkuma bayna al-nasi fi ma ikhtalafu fihi, wa ma ikhtalafa fihi illa al-ladzina utuhu min ba’di ma ja’at hum al-bayyinatu baghyan baynahum, fa hada allahu al-ladzina amanu lima ikhtalafu fihi min al-haqqi bi idznih, wa allahu yahdi man yasaya’u ila shirotin mustaqimin.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan antar insan pergerakan, persaudaraan sesama islam, persaudaraan sesama warga negara dan persaudaraan sesama ummat manusia. Perilaku persaudaraan ini, harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan sekitarnya.
   
4.         Hubungan Manusia dengan Alam
Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat, dan perbuatan Allah. Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam. Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia, dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam  pengahambaan terhadap alam, bukan penghambaan terhadap Allah. Allah mendudukan manusia sebagai khalifah. Sudah sepantasnya  manusia menjadikan bumi sebagai wahana dan obyek bertauhid dan menegaskan keberadaan dirinya.
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan didunia dan diarahkan kepada kebaikan di akherat. Disini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransedentasikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akherat adalah masa depan eskatologis yang tidak terelakan. Kehidupan akherat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar  fungsional dan beramal sholeh.
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam,mamakmurkan bumi, dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya  juga harus berkesesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan dengan mencukupi kebutuhkan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin  kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran  bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa. Tapi tidak jarang manusia dalam memanfaatkan alam itu secara berlebih-lebihan, sehingga yang terjadi adalah kerusakan dengan memakan korban kemanusiaan dan alam itu sendiri.
 “Telah nyata kerusakan di darat dan laut  ini, karena disebabkan oleh ulah tangan manusia. Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus”. (QS. Al-Rum: 41).
 “…..dan berbuat baiklah baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. (QS. Al-Qasas: 77).
Salah satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia. Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan dan hukum tersendiri. Alam perlu didayagunakan  dengan tidak mengesampikan aspek pelestariannya.
Sumber pengetahuan adalah Allah. Penguasaan dan pengembangannya disandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaan-Nya. Untuk mengetahui dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif  berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihat yang utuh terhadap ayat-ayat Allah. Pengembangan pemahaman tersebut pada akhirnya tersistematis dalam ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi. Iptek itu merupakan perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Iptek juga menunjuk pada kebaharuan manusia yang terus  berubah. Penciptaan,  pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika manusia mengingkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama, usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kedamaian.
Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia dapar menempatkan diri pada derajat yang tinggi.

ANALISA DIRI

Setiap manusia pada hakikatnya adalah pribadi yang unik dan memiliki potensi diri yang berbeda-beda. Dan hidup akan menjadi meaning full ketika dengan segala potensi yang ada dapat diejawantahkan dalam realitas kediriannya dan eksistensinya sebagai manusia. Bila Freud manyatakan bahwa kehidupan hanyalah pertarungan antara kesadaran dan ketidaksadaran makna yang patut dipertanyakan adalah dimanakah kita saat ini? Salah satu krisis terparah serta mengkhawatirkan saat ini adalah krisis konsep kedirian. Dan barang kali yang patut kita renuingkan pernyataan seorang Isa bahwa diri yang tercurahkan adalah diri yang dalam percepatan waktu tyerkecil selalu sadar akan diri dan sekitarnya. Hal yang penting kemudian adalah hidup manusiasesungguhnya bukan sekedarnya saja tetapi perlu kita yakini bahwa hidup sebagai sesuatu yang meaning full.


Tuesday, February 5, 2013

Musonnif (pengarang):
K.H. Muhammad Hasyim As`ari. Rois akbar jam`iah Nahdlotul Ulama` dan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng Isi Kitab: Tentang apa itu as-sunnah dan bid`ah. Masalah-masalah esoterisme (seputar orang mati dan tanda-tanda hari kiamat), dan berisi nasehat-nasehat.
Ikhtisar/deskripsi: Merupakan satu dari banyak kitab yang dikarang oleh pemimpin besar Nahdlotul Ulama` dalam rangka menyelamatkan aqidah  warga Nahdliyyin. Seperti kitab lainya qonun asasi, isi daripada kitab ini merupakan ulasan lengkap tentang sunnah dan bid`ah —yang adalah inti diskursus mengenai aswaja (perspektif pesantren), dengan pendekatan teks hadist. Misalnya, hadist terkenal yang meramalkan pecahnya ummat Muhammad menjadi 73 golongan. Dalam kitab ini K.H. Hasyim Asy`ari bermaksud meluruskan kesesatan pemahaman tentang terma “sunnah” dan “bid`ah” yang banyak diserang dari segolongan orang yang mengaku dirinya pembaharu (para revivalis). Dengan slogan-slogan TBC-nya (takhayaul, bid`ah, k©hurafat) mereka meng`olok-olok aqidah ahlussunnah wal jama`ah dengan mengatakan bahwa ziarah qubur, tahlil, baca yasin untuk orang mati, qondangan, adalah bagian dari kesesatan (syirik) dan penyelewengan ubudiah yang tidak berdasar.
Dari keseluruhan isi kitab, mungkin yang harus diberikan porsi pemahaman dengan sejelas-jelasnya adalah mengenai sunnah dan bid`ah, terlebih setelah konsep as-sunnah dan bid`ah ini bersentuhan dengan tradisi kebudayaan lokal jawa, sehingga mampu menjadi Islam yang khas Indonesia. Definisi sunnah misalnya, pengarang kitab menerangkan sebagai berikut: Sunnah miturut lughot berarti adalah jalan—meskipun sebuah jalan yang tidak diridloi. Sedangkan menurut makna istilah adalah sebuah jalan—yang diridloi, yang ditempuhi oleh rosulullah dan selain rosulullah (sahabat, tabi`in, salafus sholih) dalam urusan agama. Sebagai catatan, maka harus dibedakan mana persoalan agama dan mana bab tentang kebudayaan. Sebagaimana sabda nabi, “Pegang teguhlah sunnahku (baca: tradisi atau tingkah laku) dan sunnah-sunnah para penggantiku yang telah menadapatkan petunjuk semuanya”.  Lawan dari sunnah adalah bid`ah.
Adapun bid`ah adalah (dengan mengutip pendapat Syeikh Zaruq dalam kitab `Iddatul Murid)  memunculkan atau meng`ada-adakan persoalan baru—yang tidak ada pada zaman rosulullah—dalam urusan agama, kesanya persoalan tersebut adalah bagian daripada agama, padahal tidak. Supaya lebih jelas, biasanya bid`ah dapat dibedakan menjadi bid`ah hasanah dan bid`ah sayyiah. Lebih terinci lagi, Imam Ibnu Abdu as-Salam membagi bi`ah menjadi lima: (1) Wajib, seperti belajar ilmu nahwu demi pemahaman atas al-Qur`an, (2) sunnah, (3) haram, seperti madzhab Qodariah/jabbariah/Mujasamah, (4) mandub, seperti mendirikan pondok/madrasah, (5) mubah, seperti salaman setelah sholat.
Mbah Yai Hasyim As`ari membagi isi kitab dalam beberapa fasl, terdapat sepuluh bab. Secara berurut sepuluh bab itu adalah: (1) tentang sunnah dan bid`ah; (2) tentang pegangan muslimin penghuni jawa atas madzhab ahlussunnah wal jama`aah, dan awal kemunculan bid`ah dan penyebaranya di tanah jawa, dan ragam bid`ah yang ditemukan pada zaman sekarang; (3) tentang garis-jalan salaf sholih, apa yang dimaksud dengan “as-sawad al-`a`dhom”, dan pentingnya meneguhi salah satu dari empat madzhab; (4)tentang wajibnya taqlid teruntuk orang yang belum mampu berijtihad; (5) tentang keharusan berhati-hati dalam beragama dan mengambil ilmu, takut akan fitnah yang dibawa oleh ahli bid`ah dan orang munafiq dan para imam sesat; (6) tentang teks hadist dan atsar yang menerangkan tentang dihilangkanya ilmu dan turunya kebodohan, pengingat dan pemberitahuan nabi S.A.W. atas perkara yang datang belakangan adalah jelek dan bahwa ummatnya akan mengikuti perkara baru yang bid`ah dan mengikut hawa nafsu, dan sesungguhnya agama hanya tertentu (seakan barang antic) untuk sebagian orang; (7) tentang mengalirnya dosa atas orang yang mengajak kepada kesesatan; (8) tentang perpecahan ummat Muhammad menjadi tujuh puluh tiga golongan, penjelasan tentang golongan yang sesat, dan penjelasan tentang golongan yang selamat yaitu ahlussunnah wal jama`ah; (9) tentang tanda-tanda datangnya hari kiamat; (10) tentang teks hadist atas mendengarnya orang yang sudah mati atas pembicaraan orang hidup, pengetahuan orang mati atas siapa yang memandikanya, membawanya, dan yang menaruhnya di kubur, hidup dan kembalinya ruh ke jasad.
Dari sepuluh fasl tersebut, bab nomor dua oleh musonnif dibahas secara berlebih.  Dijelaskan: Pada awalnya kaum muslim di tanah jawa adalah golongan yang satu, satu kata sepakat dalam pemikiran dan bermadzhab, satu sepakat dalam mengambil dalil dan rujukan, untuk urusan fiqih semua muslimin mengambil madzhabnya Imam Muhammad bid Idris, dalam persoalan aqidah (usulul ad-din) mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy`ari, dan tasawwuf kepada Imam Ghozali atau Imam Abu hasan as-Syadzili. Hanya belakangan kemudian banyak bermunculan pemikiran baru.
Tahun 1330 hijriah adalah awal dari ditandainya periode perpecahan itu, telah nampak golongan lain yang berbeda, perbedaan-perbedaan pendapat, satu diantara yang lainya saling tarik menarik. Bahkan sampai berani mengkufurkan dan mengolok dengan tuduhan sesat dan bid`ah. Sebagian golongan itu terdapat orang-orang yang mengambil pemikiranya dari Muhammad bin Abdul Wahab dan Rosyid Ridha, mengambil ‘bid`ah’nya Muhammad bid Abdul Wahab an-Najdi,  dan Ahmad Ibnu Taimiah dan dua muridnya Ibnu Qoyyim dan Ibnu Abdul Hadi. Mereka semua merupakan orang-orang yang mengharamkan perkara dimana para muslim (generasi awal) kebanyakan menganggap sunnah perkara tersebut, seperti perihal ziarah qubur.
Dan masih banyak hal lain yang belum disampaikan dalam ringkasan ini, yang dibahas oleh K.H Hasyim Asy`ari.
Sy. Ibnu Syihab.